Kecap ikan (fish sauce) adalah cairan yang diperoleh
dari fermentasi ikan dengan garam. Kecap ikan biasanya digunakan sebagai bumbu
untuk memasak, pencelupan seafood, dan makanan orang Timur, dibuat oleh nelayan
sepanjang negara Asean. Nama kecap ikan di negara-negara Asean juga berbeda
(Indonesia : petis; Thailand : nam pla, Filipina : patis; Jepang : shottsuru,
dan Vietnam : nước mắm). Keunikan karakteristik kecap ikan adalah rasanya yang
asin dan berbau ikan.
Kecap ikan di berbagai negara
Di Vietnam kecap ikan (nouc mam) dibuat dengan
menggarami ikan kecil-kecil yang telah dihaluskan dengan tangan dan disimpan di
dalam wadah dari tanah, kemudian ditanam dalam tanah selama 3 hingga beberapa
bulan. Satu liter nouc mam kualitas baik mengandung 15,85 gram total nitrogen
(11,15 gram nitrogen organik dan 5 gram nitrogen amino), 270 gram sodium
klorida, 0,5 gram CaO. Selain itu, nauc mam mengandung metil keton tinggi yang
menyebabkan beraroma seperti keju, asam amino, basa dan asam volatil, serta
histamin.
Di Filipina kecap ikan dibuat dengan menggunakan ikan
kecil-kecil dan ikan shrimp (Atya sp). Proses pembuatannya sama dengan nouc
mam, walaupun kurang komplet dan tanpa memerlukan pertimbangan waktu. Patis ini
dibuat dengan mengeringkan sebagian kandungan air dalam fermentasi dengan
merebusnya.
Di Thailand kecap ikan (nam pla) dibuat dari ikan-ikan
Clupeidae dan dapat pula dari ikan kecil-kecil. Proses pembuatannya sama dengan
nouc-mam tetapi biasanya lebih sederhana dengan waktu pemeraman 6 bulan, bahkan
2-3 tahun dianjurkan untuk menghasilkan produk yang lebih baik. Pendekatannya,
1 kg ikan akan menghasilkan 1 liter nam-pla. Di beberapa daerah Thailand,
nam-pla juga kadang-kadang dibuat dari ikan air tawar.
Di Jepang, shottsuru dipersiapkan dari sarden, hering
atau sisa-sisa limbah pengolahan ikan. Pembuatannya hampir sama dengan
pembuatan kecap ikan lainnya. Penambahan antioksidan juga telah
direkomendasikan dalam produk tersebut untuk mencegah ketengikan. Sedangkan
petis di Indonesia dibuat dengan memasak dan mengkonsentratkan cairan fermentasi
ikan yang telah digarami tadi dengan menambahkan sedikit tepung. Produk ini
biasanya bermutu rendah dibanding dengan produk kecap ikan negara-negara Asia
Tenggara lainnya karena perbandingan nitrogen dan garamnya agak rendah.[1]
Proses Pengolahan
Selama proses fermentasi terjadi hidrolisis jaringan
ikan oleh enzim-enzim yang dihasilkan oleh mikroorganisme. Peran enzim-enzim
ini adalah sebagai pemecah ikatan polipeptida-polipeptida menjadi ikatan yang
lebih sederhana. Mikroorganisme yang berkembang selama fermentasi ikan tidak
diketahui sepenuhnya. Walaupun demikian diperkirakan jenis-jenis bakteri asam
laktat seperti Laucosotic mesenterides, Pediococccus cerevisiae dan
Lactobacillus plantarum berkembang. Beberapa jenis khamir juga diperkirakan
ikut berkembang dalam fermentasi.[2]
Proses penggaraman pada pengolahan ikan secara
tradisional akan menyebabkan hilangnya protein ikan sebesar 5% tergantung pada
kadar garam dan lama penggaraman, untuk itu dianjurkan garam yang ditambahkan
tidak melebihi 40 bagian dari berat ikan.
Pemasakan pada 95-100℃ dapat mereduksi kecernaan protein dan asam amino.
Selain itu, protein terlarut, peptida dengan berat molekul rendah, dan asam
amino bebas dapat larut dalam air perebus, sehingga perebusan sebaiknya
dilakukan di bawah 100℃.
Pemanasan yang berlebihan (di atas 90℃ secara berulang-ulang) dapat menyebabkan pembentukan
H2S yang merusak aroma dan mereduksi ketersediaan sistein dalam produk. Selain
itu, pemanasan juga menyebabkan terjadinya reaksi Maillard antara senyawa amino
dengan gula pereduksi yang membentuk melanoidin, suatu polimer berwarna coklat
yang menurunkan nilai kenampakan produk. Pencoklatan juga terjadi karena reaksi
antara protein, peptida, dan asam amino dengan hasil dekomposisi lemak. Reaksi
ini dapat menurunkan nilai gizi protein ikan dengan menurunkan nilai cerna dan
ketersediaan asam amino, terutama lisin.
Secara umum proses pengolahan kecap ikan adalah dengan
menggarami ikan yang telah dihaluskan, kemudian disimpan dalam wadah yang
tertutup rapat selama 3 sampai beberapa bulan. Selanjutnya cairan yang
dihasilkan disaring untuk mendapatkan kecap ikan bebas ampas, lalu dikemas
dalam botol steril dan dipasteurisasi.
Alternatif lain pembuatan kecap ikan
Pembuatan kecap ikan secara tradisional relatif
memerlukan waktu yang panjang. Mikroorganisme penghasil enzim protease
memerlukan waktu adaptasi yang cukup lama untuk dapat hidup dalam keadaan
lingkungan berkadar garam tinggi dan kondisi abnormal lainnya.
Rekayasa penambahan enzim proteolitik sebelum
fermentasi dapat mempersingkat waktu pembuatan kecap ikan. Dalam hal ini tidak
diperlukan lagi waktu adaptasi mikroorganisme untuk menghasilkan enzim yang
dapat menghidrolisis protein.
Mahalnya harga enzim proteolitik yang murni menjadi
kendala untuk menghasilkan kecap ikan yang cepat, mudah dan murah. Namun dengan
memanfaatkan getah pepaya dan ekstrak buah nenas sudah dapat menggantikan peran
enzim proteolitik yang murni tadi.
Dalam getah buah pepaya terdapat enzim proteolitik
yang sering disebut papain. Papain ini memiliki kapasitas yang tinggi untuk
menghidrolisis protein. Dalam industri makanan, papain sudah cukup banyak
digunakan antara lain untuk mempertahankan kesegaran bir, pelunakan daging dan
menghilangkan protein pada makanan. sedangkan buah nenas, khususnya nenas muda
juga terdapat enzim proteolitik lain yaitu bromelin. Kemampuannya dalam
menghidrolisis protein juga tidak jauh berbeda dari papain.
Namun masalahnya, kecap ikan yang dihasilkan memiliki
aroma dan warna yang jauh berbeda dari kecap ikan yang dibuat secara
tradisional, walaupun kandungan gizinya tidak jauh berbeda
Catatan kaki
1. van Veen, A.G. 1965. Fermented and Dried Seafood
Product in Southeast Asia, dalam Fish As Food Volume III Processing Part I.
Edited Georg Borsgstrom. Academic Press. New York. San Francisco. London
2. Bucle, K.A. 1985. Ilmu Pangan. Penerjemah Hari
Purnomo, Adiono. UI Press. Jakarta
0 komentar:
Posting Komentar